
Menarik menyimak ulasan Moh Isa Gautama di salah satu harian Sumbar terkait idealitas versus perkembangan mutakhir aktifisme pergerakan mahasiswa (Padang Ekspres, 21 Mei 2016). Sekedar ingin menambahkan atau katakan saja sekedar ikut meramaikan wacana aktifisme mahasiswa yang sampai hari ini belum kelar seperti apa konklusinya, di sini saya mencoba menyoroti topik tersebut sesuai kapasitas yang saya miliki. Dengan harapan, ada penampakan dan pemahaman komprehensif terkait gerakan mahasiswa dan gambar besar (big picture) apa yang menjadi latar belakang riuh rentahnya dunia aktifisme kampus selama ini.
Bagi saya, meminjam istilah Thomas Kuhn, mahasiswa selama ini hanya “kebagian” peran sebagai pelaku “anomali”. Dalam tulisanya, MIG mengidealisasi aktifisme mahasiswa dengan menggunakan terminology “creative minority” dari Arnold Toynbee, sejarawan Inggris, untuk menggambarkan posisi ideal-dinamis mahasiswa dan menggunakan istilah “manusia perbatasan” dari Subagio Sastrowardoyo untuk mengilustrasi posisi ideal-strukturalnya.
Namun realitasnya tentu belum lah demikian. Pasalnya, mahasiswa tak pernah benar-benar berperan sebagai penjaga perbatasan sebagaimana diidealisasikan secara moral filosofis, bahkan tak sedikit yang malah menyeberang batas dengan raut muka “innocent”, membarter idealisme dan segala rupa jualan moralitas dengan sekelumit kepentingan personal maupun organisasional. Sehingga zona perbatasan yang dimaksud nyatanya tidak lagi berpenjaga, yang ada hanyalah musafir lalu yang berperan temporal sebagai penjual tiket penyeberangan atau penjaja kode akses menuju zona kekuasaan.
Gerakan dan aktifisme mahasiswa pada akhirnya tercandra sebagai gerakan “fasilitasi kepentingan” untuk salah satu atau sekelompok aktor di lingkaran elit kekuasaan, bukan fasilitasi idealitas dan moralitas kemanusiaan, sosial, ekonomi, dan politik. Jika “ kepentingan” aktor yang sedang diperjuangakan telah berlabuh mulus di zona yang dituju, mahasiswa malah cendrung memilih berdiri pongah sebagai “interests guard” atau “anjing penjaga kepentingan aktor” tersebut.
Konteks inilah yang akhirnya membuat saya memaklumi mengapa seorang redaktur majalah keuangan, yang juga kawan lama saya selama terlibat di jalanan Bandung sekira 12 tahun lalu, sempat-sempatnya berkomentar miring terkait pertanyaan mengapa gerakan mahasiswa di awal pemerintahan Jokowi-JK tidak dijadikan isu menarik oleh media-media mainstream. Beliau menulis, “ sebagai awak media, dan redaktur majalah Fiskal, saya bisa memahami mengapa tone media mainstream pada aksi mahasiswa tergolong biasa-biasa saja, bahkan secara sinis hanya dianggap sebagai (maaf) kentut lewat. Menyengat, menarik perhatian, tapi tidak bisa mengalahkan situasi”.
Permakluman saya bukanlah buah dari antipati, apalagi benci, pada dunia aktifisme mahasiswa, justru saya pun sebenarnya sempat menyenyam dunia aktifisme kemahasiswaan dengan segudang kenangan pahit dan manis dunia “parlemen jalanan”. Saya memaklumi pernyataan kawan saya tersebut lebih karena perspektif empiris dan realistis kontemporer saja. Faktanya, di mata saya, mahasiswa sudah tidak lagi bereaksi terhadap sistem sebagai “manusia-manusia perbatasan” atau sebagai salah satu “intermediate structure” yang dilumuri kesadaran dan solidaritas structural-horizontal, tapi justru bentindak sebagai penjual kupon-kupon pengakses kekuasaan alias menjadi kaki tangan dari aktor politik (per-sonal maupun organisasional).
Dengan kata lain, mahasiswa gagal membangun kedasaran horizontal atau horizontal consciousness (pembandingnya adalah class consciousness/kesadaran kelas versi Karl Marx) di antara sesama kalangan mahasiswa, tapi justru berselingkuh dengan sebuah sekte atau beberapa segmen kekuasan dalam bingkai kesadaran vertikal (vertical consciousness) alias menjadi sekrup-sekrup kepentingan dari kelompok kekuasaan tertentu. Akhirnya secara teknis, untuk memahami peta pergerakan mahasiswa cukup dengan memahami aliran solidaritasnya, maka akan diketahui hulu dan hilirnya.
Pemahaman ini sebenarnya bukanlah pemahaman teknis yang sama sekali baru. Model solidaritas vertikal yang terlanjur merasuki aktifisme mahasiswa tersebut secara teoritik adalah bentuk teknis lain dari apa yang disebut oleh Cliford Geertz dalam Religion of Java sebagai “politik aliran” di mana satu partai politik mempunyai organisasi-organisasi pendukung di semua lini, mulai dari mahasiswa, pekerja sektoral (buruh/tani/dll), pengusaha, oragnisasi profesi, gender, dll. Jadi dengan demikian, akan sangat mudah menebak ke partai mana seorang mahasiswa yang sebelumnya aktif di sebuah organisasi kemahasiswaan non kampus akan berlabuh ketika dia memutuskan untuk menjadi seorang politisi nantinya. Nah, dalam kacamata ini, begitu jelas terlihat bahwa mahasiswa ternyata bukanlah sebagai penjaga perbatasan, tapi justru penerobos dan pembobol perbatasan dengan priveledge acces dari solidaritas vertikal yang sudah lebih dulu terbentuk.
Sehingga tidak perlu heran jika suatu waktu ada aglomerasi mahasiswa di depan sebuah institusi pemerintahan yang berdemonstrasi hanya untuk menyuarakan apa yang disuarakan elit-elit yang secara struktural sudah bukan lagi sebagai mahasiswa, tapi hanya bagian puncak dari solidaritas vertikal tadi. Arti lainya, dunia aktifisme mahasiswa pada gilirannya tidak hanya dipecundangi oleh skenario historis yang bernama “politik aliran” di satu sisi, tapi di sisi lain juga dikerangkeng oleh apa yang disebut Gaestano Mosca, Pareto, dan Robert Michel dengan istilah kepentingan “oligarkis para elit”.
Nah, persis dalam posisi politik ini lah saya menyimpulkan bahwa secara paradigmatik, gerakan atau aktifisme mahasiswa tak lebih dari sebuah “anomali” alias sebagai indikasi pergeseran satu paradigma (actor lama) menuju paradigma lainya (actor baru), tanpa sedikitpun punya kuasa atas bentuk dan model paradigma baru yang muncul. Pasalnya, solidaritas vertikal yang terbentuk tadi memaksa pergerakan mahasiswa terfrakmentasi sesuai dengan segmentasi-segmentasi kuasa yang terbentuk pascaaktor lama tumbang. Dengan kata lain, mahasiswa secara ideasional terbawa ke dalam sistem kekuasaan yang ditinggalkan aktor lama. Nah dalam konteks ini lah mahasiswa bergerak ibarat pion-pion lapangan yang dimainkan oleh “paradigma baru (aktor baru)” yang ingin mengudeta eksistensi “paradigma lama”.
Bagi saya, meminjam istilah Thomas Kuhn, mahasiswa selama ini hanya “kebagian” peran sebagai pelaku “anomali”. Dalam tulisanya, MIG mengidealisasi aktifisme mahasiswa dengan menggunakan terminology “creative minority” dari Arnold Toynbee, sejarawan Inggris, untuk menggambarkan posisi ideal-dinamis mahasiswa dan menggunakan istilah “manusia perbatasan” dari Subagio Sastrowardoyo untuk mengilustrasi posisi ideal-strukturalnya.
Namun realitasnya tentu belum lah demikian. Pasalnya, mahasiswa tak pernah benar-benar berperan sebagai penjaga perbatasan sebagaimana diidealisasikan secara moral filosofis, bahkan tak sedikit yang malah menyeberang batas dengan raut muka “innocent”, membarter idealisme dan segala rupa jualan moralitas dengan sekelumit kepentingan personal maupun organisasional. Sehingga zona perbatasan yang dimaksud nyatanya tidak lagi berpenjaga, yang ada hanyalah musafir lalu yang berperan temporal sebagai penjual tiket penyeberangan atau penjaja kode akses menuju zona kekuasaan.
Gerakan dan aktifisme mahasiswa pada akhirnya tercandra sebagai gerakan “fasilitasi kepentingan” untuk salah satu atau sekelompok aktor di lingkaran elit kekuasaan, bukan fasilitasi idealitas dan moralitas kemanusiaan, sosial, ekonomi, dan politik. Jika “ kepentingan” aktor yang sedang diperjuangakan telah berlabuh mulus di zona yang dituju, mahasiswa malah cendrung memilih berdiri pongah sebagai “interests guard” atau “anjing penjaga kepentingan aktor” tersebut.
Konteks inilah yang akhirnya membuat saya memaklumi mengapa seorang redaktur majalah keuangan, yang juga kawan lama saya selama terlibat di jalanan Bandung sekira 12 tahun lalu, sempat-sempatnya berkomentar miring terkait pertanyaan mengapa gerakan mahasiswa di awal pemerintahan Jokowi-JK tidak dijadikan isu menarik oleh media-media mainstream. Beliau menulis, “ sebagai awak media, dan redaktur majalah Fiskal, saya bisa memahami mengapa tone media mainstream pada aksi mahasiswa tergolong biasa-biasa saja, bahkan secara sinis hanya dianggap sebagai (maaf) kentut lewat. Menyengat, menarik perhatian, tapi tidak bisa mengalahkan situasi”.
Permakluman saya bukanlah buah dari antipati, apalagi benci, pada dunia aktifisme mahasiswa, justru saya pun sebenarnya sempat menyenyam dunia aktifisme kemahasiswaan dengan segudang kenangan pahit dan manis dunia “parlemen jalanan”. Saya memaklumi pernyataan kawan saya tersebut lebih karena perspektif empiris dan realistis kontemporer saja. Faktanya, di mata saya, mahasiswa sudah tidak lagi bereaksi terhadap sistem sebagai “manusia-manusia perbatasan” atau sebagai salah satu “intermediate structure” yang dilumuri kesadaran dan solidaritas structural-horizontal, tapi justru bentindak sebagai penjual kupon-kupon pengakses kekuasaan alias menjadi kaki tangan dari aktor politik (per-sonal maupun organisasional).
Dengan kata lain, mahasiswa gagal membangun kedasaran horizontal atau horizontal consciousness (pembandingnya adalah class consciousness/kesadaran kelas versi Karl Marx) di antara sesama kalangan mahasiswa, tapi justru berselingkuh dengan sebuah sekte atau beberapa segmen kekuasan dalam bingkai kesadaran vertikal (vertical consciousness) alias menjadi sekrup-sekrup kepentingan dari kelompok kekuasaan tertentu. Akhirnya secara teknis, untuk memahami peta pergerakan mahasiswa cukup dengan memahami aliran solidaritasnya, maka akan diketahui hulu dan hilirnya.
Pemahaman ini sebenarnya bukanlah pemahaman teknis yang sama sekali baru. Model solidaritas vertikal yang terlanjur merasuki aktifisme mahasiswa tersebut secara teoritik adalah bentuk teknis lain dari apa yang disebut oleh Cliford Geertz dalam Religion of Java sebagai “politik aliran” di mana satu partai politik mempunyai organisasi-organisasi pendukung di semua lini, mulai dari mahasiswa, pekerja sektoral (buruh/tani/dll), pengusaha, oragnisasi profesi, gender, dll. Jadi dengan demikian, akan sangat mudah menebak ke partai mana seorang mahasiswa yang sebelumnya aktif di sebuah organisasi kemahasiswaan non kampus akan berlabuh ketika dia memutuskan untuk menjadi seorang politisi nantinya. Nah, dalam kacamata ini, begitu jelas terlihat bahwa mahasiswa ternyata bukanlah sebagai penjaga perbatasan, tapi justru penerobos dan pembobol perbatasan dengan priveledge acces dari solidaritas vertikal yang sudah lebih dulu terbentuk.
Sehingga tidak perlu heran jika suatu waktu ada aglomerasi mahasiswa di depan sebuah institusi pemerintahan yang berdemonstrasi hanya untuk menyuarakan apa yang disuarakan elit-elit yang secara struktural sudah bukan lagi sebagai mahasiswa, tapi hanya bagian puncak dari solidaritas vertikal tadi. Arti lainya, dunia aktifisme mahasiswa pada gilirannya tidak hanya dipecundangi oleh skenario historis yang bernama “politik aliran” di satu sisi, tapi di sisi lain juga dikerangkeng oleh apa yang disebut Gaestano Mosca, Pareto, dan Robert Michel dengan istilah kepentingan “oligarkis para elit”.
Nah, persis dalam posisi politik ini lah saya menyimpulkan bahwa secara paradigmatik, gerakan atau aktifisme mahasiswa tak lebih dari sebuah “anomali” alias sebagai indikasi pergeseran satu paradigma (actor lama) menuju paradigma lainya (actor baru), tanpa sedikitpun punya kuasa atas bentuk dan model paradigma baru yang muncul. Pasalnya, solidaritas vertikal yang terbentuk tadi memaksa pergerakan mahasiswa terfrakmentasi sesuai dengan segmentasi-segmentasi kuasa yang terbentuk pascaaktor lama tumbang. Dengan kata lain, mahasiswa secara ideasional terbawa ke dalam sistem kekuasaan yang ditinggalkan aktor lama. Nah dalam konteks ini lah mahasiswa bergerak ibarat pion-pion lapangan yang dimainkan oleh “paradigma baru (aktor baru)” yang ingin mengudeta eksistensi “paradigma lama”.
Anomali, sebagaimana dijelaskan oleh Thomas Khun dalam karya fenomenalnya, The Structure of Scientific Revolution, anomali adalah indikator lahirnya paradigma baru dan indikator ketidaklayakan paradigma lama. Dalam buku tersebut, Kuhn meperkenalkan istilah “pergeseran paradigma” di mana setiap peralihan dari satu paradigma menuju paradigma lainya akan didahului oleh anomali-anomali yang pelan-pelan akan memudarkan kemapanan paradigma lama yang awalnya lazim diterima. Dengan kata lain jika dibenturkan dengan topik kita saat ini, dalam tataran kontekstual dan teknis operasional, mahasiswa atau gerakan mahasiswa kerab kali muncul, boleh jadi juga di-setting muncul, untuk menggugat kemapanan suatu rezim dengan justifikasi-justifikasi yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut rezim tersebut. Namun jika dialihkan ke dalam logika dialektis, mahasiswa bukanlah “antithesis” terhadap rezim lama (thesis), tapi hanya sebagai salah satu fasilitator teknis atas kemunculan “antithesis” ke panggung yang awalnya diduduki oleh “thesis”. Dalam konteks ekonomi politik peralihan, meminjam istilah dari James C Scott, mahasiswa diperlakukan dan memperlakukan dirinya sebagai pelaku utama “parlemen jalanan/street parliament” yang sejanak menandingi parlemen resmi untuk berhadapan langsung dengan Negara. Namun saat parlemen baru terbentuk, kemudian rezim baru pun terbentuk, mahasiswa justru menyantelkan solidaritasnya kepada segmen-segmen kekuasaan yang ikut menggarap lahan penguasa lama (vertical consciousness). Di sinilah “perbatasan” yang seharusnya dijaga tadi akhirnya menjadi zona bebas tanpa nilai-nilai ideal karena semuanya sudah terpaut dengan kepentingan segmen-segmen kekuasaan di level suprastruktur politik.
Idealnya, mahasiswa kembali ke “perbatasan” atau kembali sebagai intermediate structure yang terlepas dari migran-migran politik yang sudah sukses menduduki lahan penguasa lama. Demikian seharusnya bargaining position dan political stance mahasiswa dalam sistem politik. Mahasiswa, sebagaimana digambarkan Robert Putnam, adalah bagian penting dan strategis dari tatanan civil society, yang secara posisional berdiri dan bereaksi dalam kapasitasnya sebagai intermediate structure (posisi antara infrastruktur politik atau rakyat dengan suprastruktur politik atau penguasa), tanpa harus mengikatkan diri kepada salah satu atau beberapa organisasi politik praktis (parpol) yang sudah nyata-nyata menikmati kue kekuasaan.
Masalahnya saat ini, jika mahasiswa hanya muncul sebagai anomali, bukan sebagai manusia perbatasan yang konsisten menjaga batas atau pelaku intermediate structure, maka mahasiswa hanyalah pelaku temporal yang perannya dibutuhkan jika sebuah sistem akan berganti, kemudian tergamang di antara tarik menarik kepentingan berbagai organisasi politik yang mewarisi rezim yang tumbang tersebut. Cilakanya lagi, justru tak sedikit di antaranya malah menjadi inkubator politik untuk partai tertentu yang mencerabut mahasiswa dari solidaritas horizontalnya.
Saya kira, sebelum mengakhiri tulisan ini, sebuah cerita menarik dari Cak Nun (Emha Ainun Najib) saat memberi ceramah pada acara ulang tahun (Dies Natalis) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang ke-50 sangat layak dijadikan renungan terkait topik yang kita bahas. Kala itu beliau bercerita, “ Pak Harto dulu saya buatkan surat untuk diadili tapi tidak dipakai. Pak Harto siap diadili, siap mengembalikan hartanya kepada rakyat. Ada suratnya di saya dan ditandatangani Pak Harto. Siap tidak jadi presiden lagi, siap tidak ikut campur pemilihan presiden. Itu semua sumpahnya Pak Harto di dalam upacara Khusnul Khotimah sama saya, tapi tidak dipakai. Ternyata reformasi bukan mau reformasi, reformasi itu mau menggantikan Pak Harto. Sing nyolong moso sampean tok, aku yo kepengen. Aslinya reformasi adalah mau nyolong bareng-bareng. Saya ainul yakin, haqul yakin mengalami itu langsung karena semua pejuang-pejuang yang bersama saya yang merayu Pak Harto untuk turun itu ternyata tujuannya mau jadi menteri. Akhirnya jadi semua itu, saya bisa sebut namanya satu-persatu.”
Begitulah sekelumit gambaran dari hasil perjuangan reformasi yang diklaim oleh mahasiswa sebagai buah penting perjuangannya. Karena cenderung dikendalikan oleh kepentingan aktor dan berpihak kepada aktor tertentu, maka mahasiswa pun terjebak dengan penciptaan musuh yang berbentuk aktor pula, aktor yang dijadikan musuh bersama. Sehingga mahasiswa menjadi sangat rentan terfraksionalisasi takala beberapa aktor ternyata berpindah posisi menjadi penguasa baru dan berkonflik dengan kekuasaan tersebut. Walhasil, dunia pergerakan mahasiswa justru terlihat seperti dunia para politisi mabuk (drunken politician) yang bisa memangsa siapapun yang disenggol atau menyenggol kepentingan-kepentingan segmen kuasa yang duduk di puncak-puncak solidaritas vertical tadi. Sangat wajar jika hari ini jarang mahasiswa yang berteriak tentang meningkatnya angka kemiskinan, meningkatnya ketimpangan, meningkatnya angka korupsi, buruknya redistribusi pajak, tidak sensitifnya APBN/D terhadap para pemilih, buruknya pengelolaan anggaran Negara, buruknya angka kamatian ibu dan bayi, dan lain-lain. Miris bukan? Mahasiswa semakin politis, bermain-main dengan kekuasaan dan terbuai olehnya. Entahlah.
RONNY P SASMITA
(Analis Ekonomi Politik Internasional di Financeroll Indonesia)
Idealnya, mahasiswa kembali ke “perbatasan” atau kembali sebagai intermediate structure yang terlepas dari migran-migran politik yang sudah sukses menduduki lahan penguasa lama. Demikian seharusnya bargaining position dan political stance mahasiswa dalam sistem politik. Mahasiswa, sebagaimana digambarkan Robert Putnam, adalah bagian penting dan strategis dari tatanan civil society, yang secara posisional berdiri dan bereaksi dalam kapasitasnya sebagai intermediate structure (posisi antara infrastruktur politik atau rakyat dengan suprastruktur politik atau penguasa), tanpa harus mengikatkan diri kepada salah satu atau beberapa organisasi politik praktis (parpol) yang sudah nyata-nyata menikmati kue kekuasaan.
Masalahnya saat ini, jika mahasiswa hanya muncul sebagai anomali, bukan sebagai manusia perbatasan yang konsisten menjaga batas atau pelaku intermediate structure, maka mahasiswa hanyalah pelaku temporal yang perannya dibutuhkan jika sebuah sistem akan berganti, kemudian tergamang di antara tarik menarik kepentingan berbagai organisasi politik yang mewarisi rezim yang tumbang tersebut. Cilakanya lagi, justru tak sedikit di antaranya malah menjadi inkubator politik untuk partai tertentu yang mencerabut mahasiswa dari solidaritas horizontalnya.
Saya kira, sebelum mengakhiri tulisan ini, sebuah cerita menarik dari Cak Nun (Emha Ainun Najib) saat memberi ceramah pada acara ulang tahun (Dies Natalis) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang ke-50 sangat layak dijadikan renungan terkait topik yang kita bahas. Kala itu beliau bercerita, “ Pak Harto dulu saya buatkan surat untuk diadili tapi tidak dipakai. Pak Harto siap diadili, siap mengembalikan hartanya kepada rakyat. Ada suratnya di saya dan ditandatangani Pak Harto. Siap tidak jadi presiden lagi, siap tidak ikut campur pemilihan presiden. Itu semua sumpahnya Pak Harto di dalam upacara Khusnul Khotimah sama saya, tapi tidak dipakai. Ternyata reformasi bukan mau reformasi, reformasi itu mau menggantikan Pak Harto. Sing nyolong moso sampean tok, aku yo kepengen. Aslinya reformasi adalah mau nyolong bareng-bareng. Saya ainul yakin, haqul yakin mengalami itu langsung karena semua pejuang-pejuang yang bersama saya yang merayu Pak Harto untuk turun itu ternyata tujuannya mau jadi menteri. Akhirnya jadi semua itu, saya bisa sebut namanya satu-persatu.”
Begitulah sekelumit gambaran dari hasil perjuangan reformasi yang diklaim oleh mahasiswa sebagai buah penting perjuangannya. Karena cenderung dikendalikan oleh kepentingan aktor dan berpihak kepada aktor tertentu, maka mahasiswa pun terjebak dengan penciptaan musuh yang berbentuk aktor pula, aktor yang dijadikan musuh bersama. Sehingga mahasiswa menjadi sangat rentan terfraksionalisasi takala beberapa aktor ternyata berpindah posisi menjadi penguasa baru dan berkonflik dengan kekuasaan tersebut. Walhasil, dunia pergerakan mahasiswa justru terlihat seperti dunia para politisi mabuk (drunken politician) yang bisa memangsa siapapun yang disenggol atau menyenggol kepentingan-kepentingan segmen kuasa yang duduk di puncak-puncak solidaritas vertical tadi. Sangat wajar jika hari ini jarang mahasiswa yang berteriak tentang meningkatnya angka kemiskinan, meningkatnya ketimpangan, meningkatnya angka korupsi, buruknya redistribusi pajak, tidak sensitifnya APBN/D terhadap para pemilih, buruknya pengelolaan anggaran Negara, buruknya angka kamatian ibu dan bayi, dan lain-lain. Miris bukan? Mahasiswa semakin politis, bermain-main dengan kekuasaan dan terbuai olehnya. Entahlah.
RONNY P SASMITA
(Analis Ekonomi Politik Internasional di Financeroll Indonesia)
*Sumber : haluan