-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mahasiswa dan Drunken Politician

Thursday, June 2, 2016 | June 02, 2016 WIB Last Updated 2016-06-02T03:07:16Z

Menarik menyimak ulasan Moh Isa Gautama di salah satu harian Sumbar terkait idealitas versus perkembangan mutakhir aktifisme pergerakan mahasiswa (Padang Ekspres, 21 Mei 2016). Sekedar ingin menambahkan atau katakan saja sekedar ikut meramaikan wacana aktifisme mahasiswa yang sampai hari ini  belum kelar seperti apa konklusinya, di sini saya mencoba menyoroti topik tersebut sesuai kapasitas yang saya miliki. Dengan harapan, ada penampakan dan pemahaman komprehensif terkait gerakan mahasiswa dan gambar besar (big picture) apa yang menjadi latar belakang riuh rentahnya dunia aktifisme kampus selama ini.

Bagi saya, meminjam is­tilah Thomas Kuhn, ma­ha­siswa selama ini hanya “ke­ba­gian”  peran sebagai pelaku “ano­mali”. Dalam tulisanya, MIG mengidealisasi aktifisme ma­hasiswa dengan meng­gu­na­kan terminology “creative mi­nority” dari Arnold Toyn­bee, sejarawan Inggris, untuk meng­gambarkan posisi ideal-di­­namis mahasiswa dan meng­gu­­nakan istilah “manusia per­ba­tasan” dari Subagio Sas­tro­wardoyo untuk mengi­lus­trasi posisi ideal-struktural­nya.

Namun  realitasnya tentu belum lah demikian. Pasalnya, mahasiswa tak pernah benar-benar berperan sebagai pen­jaga perbatasan sebagaimana diidealisasikan secara moral filosofis, bahkan tak sedikit yang malah menyeberang batas dengan raut muka “inno­cent”,  membarter idealisme dan segala rupa jualan mora­litas dengan sekelumit kepen­tingan personal maupun orga­nisasional. Sehingga zona perbatasan yang dimaksud nya­tanya tidak lagi berpen­ja­ga, yang ada hanyalah musa­fir lalu yang berperan tempo­ral sebagai penjual tiket pe­nye­­­berangan atau penjaja ko­de akses menuju zona ke­kua­saan.

Gerakan dan aktifisme mahasiswa pada akhirnya ter­can­dra sebagai gerakan “fa­silitasi  kepentingan” untuk salah satu atau sekelompok aktor di lingkaran elit kekua­saan, bukan fasilitasi idealitas dan moralitas kemanusiaan, sosial, ekonomi, dan politik. Jika “ kepentingan” aktor yang sedang diperjuangakan telah berlabuh mulus di zona yang dituju, mahasiswa malah cen­drung memilih berdiri po­ngah  sebagai “interests gu­ard” atau “anjing penjaga kepentingan aktor” tersebut.

Konteks inilah yang akhir­nya membuat saya memak­lumi mengapa seorang redak­tur majalah keuangan, yang juga kawan lama saya selama terlibat di jalanan Bandung sekira 12 tahun lalu, sempat-sempatnya berkomentar mi­ring terkait pertanyaan menga­pa gerakan mahasiswa di awal pemerintahan Jokowi-JK  ti­dak dijadikan isu menarik oleh media-media main­stre­am. Beliau menulis, “ sebagai awak media, dan redaktur ma­jalah Fiskal,  saya bisa memahami mengapa tone me­dia mainstream pada aksi ma­ha­siswa tergolong biasa-biasa sa­ja, bahkan secara sinis ha­nya dianggap sebagai (maaf) kentut lewat. Menye­ngat, me­narik perhatian, tapi tidak bisa mengalahkan situa­si”.

Permakluman saya bu­kan­lah buah dari antipati, apalagi benci, pada dunia aktifisme mahasiswa, justru saya pun sebenarnya sempat menye­nyam dunia aktifisme kemaha­siswaan dengan segudang ke­na­ngan pahit dan manis dunia “parlemen jalanan”. Saya me­m­aklumi pernyataan kawan saya tersebut  lebih karena perspektif empiris dan realistis kontemporer saja. Faktanya, di ma­ta saya, mahasiswa su­dah   tidak lagi bereak­si ter­ha­dap sistem sebagai “ma­nu­sia-manusia perbatasan” atau se­bagai salah satu “inter­me­diate structure” yang dilumuri kesa­daran dan solidaritas struc­tu­ral-horizontal, tapi justru bentindak sebagai pen­ju­al ku­pon-kupon pengakses ke­kua­saan alias menjadi kaki ta­ngan dari aktor politik (per-so­nal maupun organisa­sio­nal).

Dengan kata lain, maha­sis­wa gagal membangun keda­saran horizontal atau ho­ri­zontal consciousness (pemban­ding­nya adalah class cons­cious­ness/kesadaran kelas versi Karl Marx) di antara sesama kalangan mahasiswa, tapi jus­tru berselingkuh dengan se­buah sekte atau beberapa segmen kekuasan dalam bing­kai kesadaran vertikal (vertical consciousness) alias menjadi sekrup-sekrup kepentingan dari kelompok kekuasaan tertentu. Akhirnya secara teknis, untuk memahami peta pergerakan mahasiswa cukup dengan memahami aliran soli­daritasnya, maka akan dike­tahui hulu dan hilirnya.

Pemahaman ini sebe­nar­nya bukanlah pemahaman teknis yang sama sekali baru. Model solidaritas vertikal yang terlanjur merasuki akti­fis­me mahasiswa terse­but se­cara teoritik adalah bentuk teknis lain dari apa yang disebut oleh Cliford Geertz dalam Religion of Java sebagai “politik aliran” di mana satu partai politik mempunyai organisasi-organisasi pendu­kung di semua lini, mulai dari mahasiswa, pekerja sektoral (buruh/tani/dll), pengusaha, oragnisasi profesi, gender, dll.  Jadi dengan demikian, akan sangat mudah me­nebak ke partai mana se­orang maha­siswa yang sebe­lumnya aktif di se­buah organisasi kema­ha­sis­waan non kampus akan berla­buh ketika dia memu­tuskan untuk menjadi seorang poli­tisi nantinya. Nah, dalam ka­camata ini, begitu jelas terlihat bah­wa mahasiswa ter­nya­ta bu­kanlah sebagai penja­ga per­batasan, tapi justru pe­nerobos dan pembobol per­ba­tasan de­ngan  priveledge acces  dari soli­daritas vertikal yang sudah lebih dulu terben­tuk.

Sehingga tidak perlu heran jika suatu waktu ada aglo­merasi mahasiswa di depan sebuah institusi pemerintahan yang berdemonstrasi hanya untuk menyuarakan apa yang disuarakan elit-elit yang secara struktural sudah bukan lagi sebagai mahasiswa, tapi hanya bagian puncak dari solidaritas vertikal tadi. Arti lainya, dunia aktifisme mahasiswa pada gilirannya tidak hanya dipe­cundangi oleh skenario histo­ris yang bernama “politik aliran” di satu sisi, tapi di sisi lain juga dikerangkeng oleh apa yang disebut Gaestano Mosca, Pareto, dan Robert Michel dengan istilah kepen­tingan “oligarkis para elit”.

Nah, persis dalam posisi politik ini lah saya menyim­pulkan bahwa secara paradig­matik, gerakan atau aktifisme mahasiswa tak lebih dari se­buah “anomali” alias sebagai indikasi pergeseran satu para­dig­ma (actor lama) menuju paradigma lainya (actor baru), tanpa sedikitpun punya kuasa atas bentuk dan model para­digma baru yang muncul. Pasalnya, solidaritas vertikal yang terbentuk tadi memaksa pergerakan mahasiswa ter­frak­mentasi sesuai dengan seg­mentasi-segmentasi kuasa yang terbentuk pascaaktor lama tumbang. Dengan kata lain, mahasiswa secara idea­sional terbawa ke dalam sistem kekuasaan yang ditinggalkan aktor lama. Nah dalam kon­teks ini lah  mahasiswa ber­gerak ibarat pion-pion lapa­ngan yang dimainkan oleh “paradigma baru (aktor baru)” yang ingin mengudeta eksis­tensi “paradigma lama”.

Anomali, sebagaimana di­je­laskan oleh Thomas Khun dalam karya feno­me­nal­nya, The Structure of Scientific Revolution, anomali adalah indikator lahirnya paradigma baru dan indikator ketidak­layakan paradigma lama. Da­lam buku tersebut, Kuhn me­per­kenalkan istilah “per­ge­se­ran paradigma” di mana setiap peralihan dari satu paradigma menuju paradigma lainya akan didahului oleh anomali-anomali yang pelan-pelan akan memudarkan kemapanan paradigma lama yang awalnya lazim diterima. Dengan kata lain jika dibenturkan dengan topik kita saat ini, dalam tataran kontekstual dan teknis operasional, mahasiswa atau gerakan mahasiswa kerab kali muncul, boleh jadi juga di-setting muncul, untuk meng­gugat kemapanan suatu rezim dengan justifikasi-justifikasi yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut rezim tersebut.  Namun jika dialih­kan ke dalam logika dialektis, mahasiswa bukanlah “anti­thesis” terhadap rezim lama (thesis), tapi hanya sebagai salah satu fasilitator teknis atas kemunculan “anti­thesis” ke panggung yang awalnya di­du­duki  oleh “thesis”. Da­­lam konteks eko­nomi politik pe­ra­lihan, meminjam is­tilah dari James C Scott,  mahasiswa di­perlakukan dan mem­­­­per­la­ku­kan di­ri­nya sebagai pelaku utama “parlemen ja­lanan/street par­lia­ment” yang se­ja­nak menan­di­ngi parlemen res­­­mi un­tuk ber­ha­­­dapan lang­sung dengan Negara. Namun saat parlemen baru terbentuk, kemudian rezim baru pun terbentuk, mahasiswa justru me­nyan­telkan solidaritasnya kepada segmen-segmen ke­kuasaan yang ikut menggarap lahan penguasa lama (vertical con­sciousness). Di sinilah “per­batasan” yang seharusnya dijaga tadi  akhirnya menjadi zona bebas tanpa nilai-nilai ideal  karena semuanya sudah terpaut dengan kepen­ti­ngan segmen-segmen kekuasaan di level suprastruktur politik.

Idealnya, mahasiswa kem­bali ke “perbatasan” atau kembali sebagai intermediate structure yang terlepas dari migran-migran politik yang sudah sukses menduduki la­han penguasa lama. Demikian seharusnya bargaining posi­tion  dan political stance ma­hasiswa dalam sistem politik. Mahasiswa, sebagaimana di­gam­barkan Robert Putnam, adalah bagian penting dan strategis dari tatanan civil society, yang secara posisional berdiri dan bereaksi dalam kapasitasnya sebagai  inter­mediate structure (posisi anta­ra infrastruktur politik atau rakyat dengan suprastruktur politik atau penguasa), tanpa ha­rus mengikatkan diri kepa­da salah satu atau beberapa or­ganisasi politik praktis (par­pol) yang sudah nyata-nyata menikmati kue kekua­sa­an.

Masalahnya saat ini, jika mahasiswa hanya muncul se­ba­gai anomali, bukan sebagai manusia perbatasan yang kon­sisten menjaga batas atau pe­la­ku intermediate struc­tu­re, maka mahasiswa ha­nya­lah pelaku temporal yang pe­rannya dibutuhkan jika se­bu­ah sistem akan berganti, ke­mu­dian tergamang di antara tarik menarik kepentingan berbagai organisasi politik yang me­wa­risi rezim yang tumbang terse­but. Cilakanya lagi, justru tak sedikit di antaranya ma­lah menjadi  inkubator politik un­tuk partai ter­tentu yang men­cerabut ma­hasiswa dari soli­daritas horizontalnya.

Saya kira, sebelum me­ngakhiri tulisan ini, sebuah cerita menarik dari Cak Nun (Emha Ainun Najib) saat mem­­beri ceramah pada acara ulang tahun (Dies Natalis) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang ke-50 sangat layak dijadikan renungan terkait topik yang kita bahas. Kala itu beliau bercerita, “ Pak Harto dulu saya buatkan surat untuk diadili tapi tidak dipakai. Pak Harto siap diadili, siap me­ngem­balikan hartanya kepada rakyat. Ada suratnya di saya dan ditandatangani Pak Har­to. Siap tidak jadi presiden lagi, siap tidak ikut campur pemilihan presiden. Itu semua sumpahnya Pak Harto di da­lam upacara Khusnul Khoti­mah sama saya, tapi tidak dipakai. Ternyata reformasi bukan mau reformasi, refor­masi itu mau menggantikan Pak Harto. Sing nyolong moso sampean tok, aku yo kepe­ngen. Aslinya reformasi ada­lah mau nyolong bareng-ba­reng. Saya ainul yakin, haqul yakin mengalami itu langsung karena semua pejuang-pe­juang yang bersama saya yang merayu Pak Harto untuk turun itu ternyata tujuannya mau jadi menteri. Akhirnya jadi semua itu, saya bisa sebut namanya satu-persatu.”

Begitulah sekelumit gam­baran dari hasil perjuangan reformasi yang diklaim oleh ma­hasiswa sebagai buah pen­ting perjuangannya. Karena cenderung dikendalikan oleh kepentingan aktor dan berpi­hak kepada aktor tertentu, maka mahasiswa pun terjebak dengan penciptaan musuh yang berbentuk aktor pula, aktor yang dijadikan musuh bersama. Sehingga mahasiswa menjadi sangat rentan terfrak­sionalisasi takala beberapa aktor  ternyata berpindah posi­si menjadi penguasa baru dan berkonflik dengan kekuasaan tersebut. Walhasil, dunia per­ge­rakan mahasiswa justru terli­hat seperti dunia para politisi mabuk (drunken politician) yang bisa memangsa siapapun yang disenggol atau menyeng­gol kepentingan-kepentingan segmen kuasa yang duduk di puncak-puncak solidaritas vertical tadi. Sangat wajar jika hari ini jarang mahasiswa yang berteriak tentang mening­katnya angka kemiskinan, meningkatnya ketimpangan, meningkatnya angka korupsi, buruknya redistribusi pajak, tidak sensitifnya APBN/D terhadap para pemilih, buruk­nya pengelolaan anggaran Negara, buruknya angka ka­ma­tian ibu dan bayi, dan lain-lain. Miris bukan? Mahasiswa semakin politis, bermain-main dengan kekuasaan dan terbuai olehnya. En­tahlah.

RONNY P SASMITA
(Analis Ekonomi Politik Internasional di Financeroll Indonesia)

*Sumber : haluan
×
Berita Terbaru Update