
Jurusan Sejarah Universitas Negeri Padang (UNP) adakan seminar sehari dengan tema “Tragedi Peristiwa 30 September 1965: Mengingat yang Lupa”, Senin (3/10).
Seminar yang tersebut mendatangkan ahli sejarah UNP, Mestika Zed; Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Sumatra Barat, Wannofri Samry; dan sastrawan dan wartawan senior Rusli Marzuki Saria sebagai pembicara.
Ketua Pelakasana Seminar, Azmi Fitrisia, mengungkapkan bahwa seminar yang dihadiri sekitar 300 peserta dari berbagai kalangan itu diadakan karena saat ini generasi muda sudah mulai lupa tentang tragedi Gerakan 30 September 1965. Hal itu terjadi karena sejak terjadinya reformasi, tragedi tersebut tak lagi diperingati.
“Seminar ini juga untuk mencari jawaban atas keraguan bersalah atau tidaknya PKI pada tragedi 1965. Pemaparan ketiga narasumber memang menjurus bahwa PKI memang melakukan pemberontakan,” ujarnya.
Dalam penyampaian makalahnya, Mestika mengatakan bahwa akhir-akhir ini banyak muncul wacana kebangkitan komunisme di Indonesia. Wacana tersebut mengemuka melalui berbagai media, di antaranya diskusi-diskusi di berbagai media (cetak dan elektronik) maupun didiskusi-diskusi akademik.
Di samping itu, muncul pula berbagai opini yang mendukung PKI bahwa partai berlambang palu arit itu hanya menjadi korban dalam tragedi berdarah 1965 tersebut. Namun argumen itu secara tegas dibantah Mestika karena dia mengklaim punya bukti bahwa PKI memang memberontak.
Seminar yang tersebut mendatangkan ahli sejarah UNP, Mestika Zed; Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Sumatra Barat, Wannofri Samry; dan sastrawan dan wartawan senior Rusli Marzuki Saria sebagai pembicara.
Ketua Pelakasana Seminar, Azmi Fitrisia, mengungkapkan bahwa seminar yang dihadiri sekitar 300 peserta dari berbagai kalangan itu diadakan karena saat ini generasi muda sudah mulai lupa tentang tragedi Gerakan 30 September 1965. Hal itu terjadi karena sejak terjadinya reformasi, tragedi tersebut tak lagi diperingati.
“Seminar ini juga untuk mencari jawaban atas keraguan bersalah atau tidaknya PKI pada tragedi 1965. Pemaparan ketiga narasumber memang menjurus bahwa PKI memang melakukan pemberontakan,” ujarnya.
Dalam penyampaian makalahnya, Mestika mengatakan bahwa akhir-akhir ini banyak muncul wacana kebangkitan komunisme di Indonesia. Wacana tersebut mengemuka melalui berbagai media, di antaranya diskusi-diskusi di berbagai media (cetak dan elektronik) maupun didiskusi-diskusi akademik.
Di samping itu, muncul pula berbagai opini yang mendukung PKI bahwa partai berlambang palu arit itu hanya menjadi korban dalam tragedi berdarah 1965 tersebut. Namun argumen itu secara tegas dibantah Mestika karena dia mengklaim punya bukti bahwa PKI memang memberontak.
“Untuk mengerti sejarah, kita tidak bisa melihat dari satu titik peristiwa saja, tetapi harus berkelanjutan. PKI sudah jelas-jelas pernah memberontak pada tiga periode, yaitu 1920-an, 1948, dan 1965,” ujarnya.
Sementara itu, Wannofri menjelaskan terkait konflik intelektual yang terjadi pada masa-masa tersebut. Untuk memperkuat keberadaannya, PKI melakukan propaganda melalui media Harian Rakjat dan organisasi kebudayaan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). PKI secara blak-blakan menyerang pihak-pihak yang tak sejalan dengan ide revolusinya. “Orang-orang yang menandatangani Manifes Kebudayaan yang antikomunis menjadi bulan-bulanan Lekra,” ujarnya.
Hal itu senada dengan yang disampaikan Rusli. Dia menceritakan bagaimana dia dan kawan-kawannya yang membacakan sajak-sajak seniman Manifes Kebudayaan diserang oleh orang-orang Lekra.
“Orang-orang yang tidak seide dengan mereka dimusuhi,” ungkapnya. Setelah seminar, peserta pun mengikuti nonton bersama film Pemberontakan PKI yang saat ini tak lagi disiarkan di televisi.
Sementara itu, Wannofri menjelaskan terkait konflik intelektual yang terjadi pada masa-masa tersebut. Untuk memperkuat keberadaannya, PKI melakukan propaganda melalui media Harian Rakjat dan organisasi kebudayaan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). PKI secara blak-blakan menyerang pihak-pihak yang tak sejalan dengan ide revolusinya. “Orang-orang yang menandatangani Manifes Kebudayaan yang antikomunis menjadi bulan-bulanan Lekra,” ujarnya.
Hal itu senada dengan yang disampaikan Rusli. Dia menceritakan bagaimana dia dan kawan-kawannya yang membacakan sajak-sajak seniman Manifes Kebudayaan diserang oleh orang-orang Lekra.
“Orang-orang yang tidak seide dengan mereka dimusuhi,” ungkapnya. Setelah seminar, peserta pun mengikuti nonton bersama film Pemberontakan PKI yang saat ini tak lagi disiarkan di televisi.