Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dr Arcandra Tahar menyoroti lemahnya iklim investasi bidang energi di Indonesia. Menurutnya aturan yang ada di pemerintahan saat ini membuat para investor jera untuk berinvestasi.
Saat memberikan kuliah umum kepada mahasiswa di UNP dan Unand, Kamis (20/10), Arcandra menyebut, selama ini, ada aturan yang mewajibkan para investor harus membayar pajak terkait dengan kegiatan eksplorasi yang dilakukan. “Padahal yang namanya eksplorasi belum tentu dapat apa
yang diinginkan oleh investor tersebut, tapi sudah kena pajak duluan. Padahal mereka sudah berinvestasi ratusan miliaran,” katanya.
Selain itu, lamanya proses perizinan investasi di Indonesia juga menjadi faktor pelengkap suramnya iklim investasi. Investor yang ingin melakukan eksplorasi harus menunggu berbulan-bulan hanya untuk mendapatkan izin. “Tentu ini yang menjadi tantangan bagi Kementerian ESDM,” ujarnya.
Selain itu kata Arcandra, dengan potensi energi dari fosil atau minyak yang dimiliki saat ini, negara harus telah memikirkan sumber energi baru dan terbarukan. Misalnya dengan memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada, apakah itu angin, gelombang, dan sumber energi terbarukan lainnya. “Indonesia tak memiliki kekayaan minyak sebanyak yang kita bayangkan. Untuk itu, tentu perlu mencari cadangan agar Indonesia tidak kekurangan minyak,” katanya.
Arcandra juga menyatakan biaya eksplorasi minyak dalam rangka mencari cadangan baru itu mahal karena tingkat kesulitannya tinggi dan harus menggunakan teknologi mutakhir. Sekali mencari minyak di laut dalam, satu bor biayanya bisa sampai 250 juta dolar Amerika Serikat (AS).
“Biasanya dibutuhkan tiga sampai empat kali pencarian dengan total biaya mencapai Rp13 triliun. Oleh sebab itu, perusahaan hebat dengan teknologi canggih dan orang-orang terbaik dalam mencari minyakpun hanya satu kali berhasil mendapatkan minyak setelah lima kali mencarinya,” ceritanya.
Jika saat mencari tersebut ternyata tidak ditemukan minyak maka uang Rp13 triliun tadi sudah jadi abu, tidak berbekas sama sekali. “Pertanyaannya, apakah ada orang Indonesia yang berani menanamkan uang Rp13 triliun dengan asumsi kalau dapat minyak oke, kalau tidak ketemu tidak apa-apa, hampir dipastikan tidak ada yang mau,” tuturnya.
Terkait dengan investor, kata Arcandra Tahar, selain akan menggenjot pihak asing juga akan merangsang investor dari lokal untuk mengembangkan SDA yang ada di Indonesia. “Sebenarnya kalau terlalu banyak investor lokal juga tidak bagus karena tidak semua perusahaan lokal itu yang terintegrasi. Jadi, perlu juga dilakukan standarisasi,” ungkapnya.
Arcandra menjelaskan, untuk membangun kemandirian bangsa dibutuhkan beberapa hal, yaitu SDA yang ada dimanfaatkan dengan prinsip kebermanfaatan untuk kemakmuran rakyat Indonesia, kesepahaman dalam kedaulatan energi, dan investasi yang harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Arcandra Tahar juga mengatakan, pihaknya harus segera menyiapkan rencana agar eksplorasi migas tak terus mengalami penurunan. Dia menambahkan bahwa penurunan eksplorasi migas sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir. “Sektor hulu migas itu dimulai dengan eksplorasi,” kata Arcandra Tahar.
Salah satu hal yang ditengarai menyebabkan penurunan eksplorasi migas adalah Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010. Menurut Arcandra, dalam waktu dekat revisi PP tersebut akan ditandatangani. Dalam pembahasan revisi, Arcandra mengaku sudah berdiskusi dengan stakeholder terkait.
Sekadar informasi, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM IGN Wiratmaja Puja mengatakan PP Nomor 79 Tahun 2010 memang perlu direvisi supaya investasi di hulu migas lebih atraktif. Dengan kondisi saat ini, banyak hal yang sudah berubah, seperti harga minyak yang tidak setinggi ketika 2010.
Wirat menuturkan, Kementerian ESDM menekankan tiga hal utama yang diusulkan dalam revisi PP No.79 Tahun 2010. Pertama, dari sisi investasi supaya lebih atraktif, kedua, sisi perpajakan dan ketiga, sisi pengaturan yang mungkin terlalu berlebih diatur sebelumnya.
Menurut Wirat, supaya investasi di industri hulu nasional atraktif diperlukan insentif pada sistem perpajakan supaya investasi industri hulu migas meningkat melakukan eksplorasi.
Saat memberikan kuliah umum kepada mahasiswa di UNP dan Unand, Kamis (20/10), Arcandra menyebut, selama ini, ada aturan yang mewajibkan para investor harus membayar pajak terkait dengan kegiatan eksplorasi yang dilakukan. “Padahal yang namanya eksplorasi belum tentu dapat apa
yang diinginkan oleh investor tersebut, tapi sudah kena pajak duluan. Padahal mereka sudah berinvestasi ratusan miliaran,” katanya.
Selain itu, lamanya proses perizinan investasi di Indonesia juga menjadi faktor pelengkap suramnya iklim investasi. Investor yang ingin melakukan eksplorasi harus menunggu berbulan-bulan hanya untuk mendapatkan izin. “Tentu ini yang menjadi tantangan bagi Kementerian ESDM,” ujarnya.
Selain itu kata Arcandra, dengan potensi energi dari fosil atau minyak yang dimiliki saat ini, negara harus telah memikirkan sumber energi baru dan terbarukan. Misalnya dengan memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada, apakah itu angin, gelombang, dan sumber energi terbarukan lainnya. “Indonesia tak memiliki kekayaan minyak sebanyak yang kita bayangkan. Untuk itu, tentu perlu mencari cadangan agar Indonesia tidak kekurangan minyak,” katanya.
Arcandra juga menyatakan biaya eksplorasi minyak dalam rangka mencari cadangan baru itu mahal karena tingkat kesulitannya tinggi dan harus menggunakan teknologi mutakhir. Sekali mencari minyak di laut dalam, satu bor biayanya bisa sampai 250 juta dolar Amerika Serikat (AS).
“Biasanya dibutuhkan tiga sampai empat kali pencarian dengan total biaya mencapai Rp13 triliun. Oleh sebab itu, perusahaan hebat dengan teknologi canggih dan orang-orang terbaik dalam mencari minyakpun hanya satu kali berhasil mendapatkan minyak setelah lima kali mencarinya,” ceritanya.
Jika saat mencari tersebut ternyata tidak ditemukan minyak maka uang Rp13 triliun tadi sudah jadi abu, tidak berbekas sama sekali. “Pertanyaannya, apakah ada orang Indonesia yang berani menanamkan uang Rp13 triliun dengan asumsi kalau dapat minyak oke, kalau tidak ketemu tidak apa-apa, hampir dipastikan tidak ada yang mau,” tuturnya.
Terkait dengan investor, kata Arcandra Tahar, selain akan menggenjot pihak asing juga akan merangsang investor dari lokal untuk mengembangkan SDA yang ada di Indonesia. “Sebenarnya kalau terlalu banyak investor lokal juga tidak bagus karena tidak semua perusahaan lokal itu yang terintegrasi. Jadi, perlu juga dilakukan standarisasi,” ungkapnya.
Arcandra menjelaskan, untuk membangun kemandirian bangsa dibutuhkan beberapa hal, yaitu SDA yang ada dimanfaatkan dengan prinsip kebermanfaatan untuk kemakmuran rakyat Indonesia, kesepahaman dalam kedaulatan energi, dan investasi yang harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Arcandra Tahar juga mengatakan, pihaknya harus segera menyiapkan rencana agar eksplorasi migas tak terus mengalami penurunan. Dia menambahkan bahwa penurunan eksplorasi migas sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir. “Sektor hulu migas itu dimulai dengan eksplorasi,” kata Arcandra Tahar.
Salah satu hal yang ditengarai menyebabkan penurunan eksplorasi migas adalah Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010. Menurut Arcandra, dalam waktu dekat revisi PP tersebut akan ditandatangani. Dalam pembahasan revisi, Arcandra mengaku sudah berdiskusi dengan stakeholder terkait.
Sekadar informasi, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM IGN Wiratmaja Puja mengatakan PP Nomor 79 Tahun 2010 memang perlu direvisi supaya investasi di hulu migas lebih atraktif. Dengan kondisi saat ini, banyak hal yang sudah berubah, seperti harga minyak yang tidak setinggi ketika 2010.
Wirat menuturkan, Kementerian ESDM menekankan tiga hal utama yang diusulkan dalam revisi PP No.79 Tahun 2010. Pertama, dari sisi investasi supaya lebih atraktif, kedua, sisi perpajakan dan ketiga, sisi pengaturan yang mungkin terlalu berlebih diatur sebelumnya.
Menurut Wirat, supaya investasi di industri hulu nasional atraktif diperlukan insentif pada sistem perpajakan supaya investasi industri hulu migas meningkat melakukan eksplorasi.